Kamis, 01 Juli 2010

Segmentasi Pasar Produk COSMOS

Nama rice cooker, magic jar, serta magic com, kini tak asing lagi bagi masyarakat. Tiga jenis perlengkapan dapur itu mulai banyak dimanfaatkan masyarakat, khususnya yang tak punya banyak waktu untuk memasak, atau mereka yang menginginkan menu makanan tetap hangat.
Rice cooker dan magic com dan yang sudah dikenal cukup lama ini, memudahkan penggunanya untuk memasak nasi lebih cepat atau agar makanan tetap dalam kondisi hangat. Mengingat tingginya kebutuhan masyarakat, tidak mengherankan jika produk-produk itu di sejumlah pusat penjualan barang elektronik banyak diserbu.

Sutiono, pedagang elektronik di kawasan Jl Gajahmada Sidoarjo menuturkan, selama ini penjualan magic jar memang cukup tinggi. Rata-rata dalam sehari paling tidak permintaan produk itu bisa sekitar 8-10 unit.

“Produk perlengkapan dapur seperti, kompor gas, magic jar dan blender, selama ini kontribusinya sekitar 20 persen dari total penjualan di tempat kami. Magic jar permintaannya cukup besar,” ulasnya, Minggu (1/11).

Menurut Sutiono, produk yang hampir sama fungsinya dari magic jar adalah rice cooker dan magic com. Permintaan kedua produk ini, diakuinya, memang tak setinggi magic jar. Alasannya, masyarakat masih beranggapan bahwa memasak nasi dengan menggunakan listrik akan banyak menyedot energi listrik.

Selain itu, ada anggapan bahwa produk magic com yang berfungsi untuk memasak sekaligus menghangatkan, tak tahan lama. “Padahal anggapan itu tak benar. Ada beberapa produk yang penggunaan listriknya sangat irit. Pun demikian, tergantung bagaimana kita menggunakannya, kalau sesuai aturan ya bisa awet,” ungkapnya.

Ada beberapa merek yang selama ini aktif mengeluarkan produk barunya di segmen tersebut, seperti Cosmos, Yong Ma, Sanken, Philips dan Panasonic. Soal harga, Sutiono mengaku, perbedaan harga antara magic com, rice cooker dan magic jar sebetulnya beda tipis, bahkan ada beberapa produk yang relatif sama.

“Namun untuk pembeli kita yang notabene segmen menengah bawah rata-rata meminati produk magic jar di kisaran harga Rp 200.000-250.000 per unit,” jelas Sutiono.
Direktur UFO Electronics Poedji Harixon mengakui, penjualan perangkat rumah tangga (home appliance) termasuk perlengkapan dapur selama ini terjadi fluktuatif, kadangkala penjualannya ramai tapi terkadang juga mengalami kelesuan.

“Untuk produk yang kecil, seperti blender, rice cooker, magic jar maupun magic com, biasanya cenderung ramai menjelang bulan puasa dan Lebaran, serta Tahun Baru,” imbuhnya.

Mulai Bergeser
Tak beda dengan Sutiono, Poedji juga mengakui, dari tiga produk perlengkapan dapur itu, produk magic jar merupakan yang tertinggi penjualannya. Budaya masyarakat untuk tetap melakukan cara tradisional dalam memasak nasi masih tinggi.
“Namun seiring dengan perkembangan teknologi, kesibukan serta kepraktisan, lambat laun peminat magic com juga meningkat,” ucapnya.

Keraguan konsumen akan kualitas dan ketahanan produk magic com maupun magic jar, diakui Poedji, kini mulai terkurangi dengan inovasi baru, layanan purna jual, serta masa garansi yang diberikan produsen.

Ia meyakinkan, pasar produk perlengkapan dapur masih cukup besar dan permintaannya pun terus meningkat. Itu pula yang mendasari sejumlah produsen masuk di pasar itu. “Selain ketiga produk itu, masih banyak produk dan merek yang bermain di pasar kebutuhan dapur, seperti microwave, pemanggang roti, mixer,” timpalnya. dio

Analisa Iklan Produk Mie Instan

Pasar mie instant di Indonesia dapat dikelompokkan menurut kisaran harga jual produk. Berdasarkan evaluasi data penjualan divisi penelitian dan pengembangan indofood, segmen bawah untuk harga kurang dari Rp 200,00 per bungkus mencakup kira-kira 15% dari seluruh pasar mie instant. Indofood mengaku menguasai pangsa pasar dengan merk Indomie, Supermie,dan Sarimie

Di kelas menengah yang harganya Rp 200,00 sampai dengan Rp 300,00 perbungus, Indofood menyerbu dngan merk Indomie spesial, Supermi, dan Sarimi. Inilah segmen pasar terbesar yakni mencapai 70% dari produk indofood.

Di kelas atas, Indofood menawarkan produknya di atas Rp 300,00 dengan merk Indomie Special Quality dan Supermi Super. Produk Indofood ini hampir tidak memiliki tandingan karena 99% pangsa pasar di kelas ini dikuasai Indofood.

Dominasi Indofood dalam bisnis mie instant didukung oleh adanya kebijakan pemerintah yang bersifat protektif, yaitu dengan memasukkannya dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) yag berarti pemerintah tidak mengizinkan investasi baru.

Strategi utama yang dilakukan oleh Indofood dalam memasarkan produknya adalah Concentric Diversfication Strategi. Strategi ini dilakukan dengan menambah produk yang baru tetapi masih saling berhubungan. Ini terlihat dari semakin banyaknya produk mie instant yang dihasilkan yang disesuaikan dengan kebutuhan pangsa pasar. Selain itu dilakukan diversifikasi harga dengan merubah bentuk dan rasanya.

Selain itu Indofood juga menerapkan strategi Penetrasi Pasar, yaitu berusaha untuk meningkatkan pangsa pasar. Dalam strategi Indofood telah memperbanyak tenaga penjual, menambah biaya advertising (melalui iklan di Televisi, majalah, dan surat kabar), menawarkan promosi penjualan ekstensif, dan meningkatkan publikasi. Hingga saat ini produk mie instant yang dihasilkan PT Indofood rata-rata 9.7 milyar bungkus per tahun,dengan klasifikasi peruntukan seperti yang telah dijelaskan di atas.

Peluang Pasar Mi Instan Masih Terbuka Lebar Membidik Pasar dengan Aneka Cita Rasa


JAKARTA - Siapa yang tidak mengenal produk-produk mi instan Indomie, Sarimi, Pop Mie ataupun Supermie. Merek produk mi instan PT Indofood Sekses Makmur Tbk ini sudah sangat kuat dalam pikiran dan rasa yang akrab di setiap lidah orang Indonesia.

Harus diakui hampir semua kalangan pasti pernah menikmati salah satu produk mi instan tersebut. Produsennya, PT Indofood Sukses Makmur Tbk. malah pernah membuat iklan televisi yang menggambarkan satu keluarga mempunyai santapan sehari-hari dari Senin sampai Jumat adalah Indomie.
Indofood, produsen mi instan terbesar di Indonesia kini menguasai 75 persen pangsa pasar mie instan di dalam negeri. Sejumlah industri serupa yang semakin marak menggarap sektor usaha ini tak mampu menjajari langkah Indofood.
Maklum, Indofood telah berdiri sejak puluhan tahun lalu sehingga mampu menancapkan pondasi yang kuat sebagai industri mie instan. Tak heran bila perusahaan ini kemudian memiliki jalur distribusi yang kuat dan merata di seluruh tanah air. Tercatat pada 2001, Indofood mampu memproduksi 8 miliar bungkus mi instan dan sebanyak 9 miliar bungkus pada 2002.
Peningkatan produksi ini, bertolak dari potensi pasar yang masih sangat besar. Bayangkan saja, di dalam negeri konsumsi mie instan baru sekitar 50 bungkus per orang setiap tahun. Itu artinya peluang pasar masih terbuka lebar. Apalagi, ada segmen pasar yang belum digarap, seperti pasar kelas menengah ke atas.
Pasar kelas menengah atas diisi oleh produk-produk impor. Kini pasar tersebut juga mulai dibidik oleh Indofood secara serius. Anda bisa menyaksikan produk-produk high end Indofood diantaranya Mi Imlek, Mi Ulang Tahun, Mi Kasih Sayang beredar di pasaran.
Namun, Indofood menyadari segmen ini, tidak lah sebesar segmen low and medium sehingga Indofood tidak menargetkan produksi dalam jumlah tertentu. ”Ketika Indofood mengeluarkan produk high end, kita tidak bicara volume. Yang pasti sejak diluncurkan beberapa waktu lalu respons pasar sangat baik,” ujar Taufik Wiraatmaja, Kepala Divisi Noodle Indofood.
Indofood semakin besar dan agresif dengan temuan-temuan jenis produknya. Tak kurang ada puluhan produk yang diluncurkan Indofood dengan ratusan rasa. Hampir semua produk itu sukses dipasar, tentu saja karena didukung distribusi yang kuat dan konsep pemasaran yang jitu.
Sebagai produsen mi instan terbesar, Indofood sangat jeli menyuguhkan produk-produk yang disenangi konsumennya. Terbukti penggalian jenis produk berdasarkan rasa (taste) dari berbagai propinsi sukses berat. Konsep yang diusung Mutiara Lintas Budaya yang merupakan rangkaian 40 produk mie instan dengan aneka cita rasa. ”Indofood memiliki semua jenis produk dari setiap propinsi yang ada di Indonesia,” kata Taufik.
Strategi pemasaran dengan konsep Emotional Marketing boleh dibilang sukses besar. Konsep yang menggangkat emosi konsumen sehingga terjadi kedekatan dengan produk tersebut.
Taufik menceritakan bagaimana seorang konsumen menghubungi Indofood hanya untuk mendapatkan mi Cakalang di Jakarta agar mengobati kerinduannya terhadap daerah asalnya Manado. ”Kami menginginkan mi instan lebih dari sekadar makanan,” kata Taufik.

Peluang Pasar
Sebagai produsen mi instan, Indofood nyaris melenggang sendirian tanpa pesaing. Kemunculan berbagai merek lain, tak mampu menggoyahkan kedudukan Indofood sebagai produsen terbesar. Produk-produk lain hanya memperebutkan 25 persen pasar yang disisakan Indofood.
Pernah PT Jakaranatama Food Industry mencoba menyaingi Indofood dengan melansir produk bermerek Michiyo dengan bentuk dan ukuran yang sama dengan pesaingnya. Hasilnya, mudah ditebak, gagal! ”Kami pernah mencoba bersaing head to head tapi tidak bisa,” aku Presiden Direktur PT Wicaksana Overseas International Bachtiar Yusuf, jujur.
PT Wicaksana Overseas International merupakan distributor produk Jakaranatama Food Industry. Akhirnya, Jakaranatama yang didirikan oleh Bachtiar Yusuf itu mencoba inovasi lain. Dia berhasil menelurkan produk Gaga Mie berukuran 50 gram, yang beratnya lebih ringan dan lebih kecil dari ukuran mie instan biasa. Berhasil! Sekitar 20 persen dari total produk Jakaranatama adalah Gaga Mie 50 gram.
Produksi Gaga Mie tidak berhenti sampai disitu. Sebab, beberapa waktu kemudian muncul lagi dengan inovasi lain yang lebih sukses. Yakni melahirkan Gaga 100, berukuran 100 gram. Produk terakhir ini menjadi unggulan Jakaranatama yang menguasai 60 persen dari total produksinya. ”Kami harus menciptakan inovasi lain supaya bisa bersaing,” tegas Bachtiar.
Bachtiar mengaku perusahaannya berhasil meraih pangsa pasar 7 persen dari seluruh pangsa mie instan tidak muluk-muluk menargetkan produksi. Pada 2003, dia hanya menargetkan 22 juta karton dari 14 juta karton pada 2002.
Tidak ketinggalan Jakaranatama merambah ke segmen high end dengan produkya Gaga Suun. Sejak dipasarkan tujuh bulan lalu, hasilnya boleh dibilang lumayan untuk ukuran pendatang baru. Menurutnya, mereka mampu menjual 1.300 bungkus per bulan.
Bachtiar mengaku, mereka tidak agresif untuk mengeluarkan berbagai jenis produk. Sampai saat ini, produksi hanya terbatas pada Alhami, Gaga Mie 50 gram, Gaga Mie 100, serta Gaga Suun. Alasannya memproduksi beragam produk terlalu merepotkan. ”Kami ingin pada penguatan brand”.
Sebagai perusahaan mie instan yang tergolong pendatang baru, manajemen harus dibarengi dengan kecermatan mengetahui kehendak pasar, cost rendah serta distribusi yang lancar. ”Distribusi yang tidak bagus maka dipastikan penjualan juga tidak lancar,” ujarnya.
Meski masih mempunyai pangsa pasar kecil, Bachtiar yakin kesempatan meraih pasar terbuka lebar. Bagaimanapun, peluang tetap ada karena produk ini berkaitan dengan rasa. Artinya, sangat mungkin masyarakat berpindah kepada produk lain yang lebih cocok dengan lidah mereka.
Pendapat sama dilontarkan Presiden Direktur Sentrafood Budianto. ”Siapapun yang masuk ke industri ini masih tetap ada peluang sekecil apapun. Kalau mau survive tetap bisa tergantung pada kekuatan kita,” ujar Budianto.
Sentrafood yang merupakan produsen mi instan bermerek Salami tersebut baru meluncurkan produk Mie Jawa. Pendekatan memakai local taste ini dikatakannya dengan riset yang mendalam. Tidak asal-asalan dan tidak meniru. Menu rut Budianto tidak akan mengeluarkan produk berdasarkan bumbu daerah tertentu tanpa modifikasi.
”Kami akan mengeluarkan produk-produk baru yang belum pernah ada. Produk didasarkan menu sehari-hari masyarakat dari berbagai daerah tapi local taste yang kami lakukan tidak secara semena-mena,” tandasnya.
Mi Jawa yang dipasarkan dalam satu bulan ini mendapat respon yang sangat baik. Hal itu diakuinya ditunjang dengan promosi gencar. Karena itu, dikatakannya kemungkinan menu dari daerah lain akan diadaptasi untuk produksinya.
Sentrafood yang kini mengambil pasar kurang dari 10 persen itu kini memiliki 10 jenis produk. Terbatasnya produk Sentrafood, dikatakannya setiap produk baru membutuhkan dana besar untuk riset dan promosi.
Guna menguatkan pasarnya, Sentrafood tidak bernafsu mendistribusikan produknya ke seluruh daerah. Cukup pada daerah-daerah yang terjangkau oleh pabrik dengan demikian menekan biaya distribusi. Karena itu, Sentrafood fokus pada wilayah yang berada dekat pabrik yang berada di Jakarta dan Surabaya. ”Kalau kami memaksakan sampai ke Papua mungkin harga jual harus naik sampai berlipat, terutama karena ditekan ongkos distribusi,” kata Budianto.
Dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, dominasi pasar produk mi instan tetap, akan dikuasai produk-produk Indofood. Sebab, perusahaan pioner mi instan itu sudah memiliki brand dan juga rasa yang cocok dengan sebagian besar lidah masyarakat Indonesia. Namun demikian, persaingan bisnis mie instan tak akan berhenti. Karena produsen lain melihat peluang besar di sektor usaha ini. Hal ini tentu menguntungkan konsumen karena semakin mempunyai berbagai pilihan. (SH/naomi siagian)